Time Flies
“Time flies, it’s up to you to be the navigator “
-Robert Orben-
Saat ini kamu berdiri memandang gelapnya malam yang bertabur bintang di langit. Sendirian. Sepi dan sunyi. Katakan saja kamu tidak ingin diganggu orang lain. Kamu ingin berkendara ke masa lalumu dengan memandang bintang. Anggap bintang itu tujuanmu, masa lalumu. Kamu butuh kendaraan untuk sampai disana. Maka, ingatan adalah jawabannya. Ia mampu membawamu menjelajah masa lalu, meniti setiap kenangan yang ditinggalkannya.
Kamu melaju dan terus melaju. Akhirnya, ingatan menghentikanmu di suatu tempat yang begitu kau kenal, sudah menua tapi tak kehilangan lembaran kenangannya. Kamu melihat dirimu memakai seragam putih merah memasuki sekolahmu yang dahulu. Kamu mengekor dibelakangnya. Ternyata ia sedang belajar matematika di kelas. Kamu menyadari, waktu itu kamu berumur 8 tahun. Kamu menunggu hingga sekolah selesai dan kamu terus mengikuti dirimu yang berumur 8 tahun itu. Ia berjalan menuju rumahmu bersama teman-temanmu versi anak-anak. Mereka membicarakan sesuatu. Kamu mencoba menarik kembali benang-benang kenangan yang telah terajut rapi di kepalamu, akhirnya kamu tahu rencana mereka. Ya, berburu buah ceplukan-buah kecil manis nan selalu menggoda lidahmu- di sawah. Rutinitasmu dulu. Benar saja, setelah berganti seragam di rumah, dirimu yang kecil langsung menuju sawah bersama gerombolan temannya tadi. Kamu mengikutinya dari belakang, mendengar mereka menyanyikan lagu Layang-layang. "Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang". Kamu tersenyum mendengar suaramu sendiri. Sangat jelek ternyata. Mereka tertawa bersama, entah apa yang ditertawakan, kamu tak bisa mengingatnya. Setelah beberapa saat, mereka sampai di sawah. Perburuan dimulai. Kamu mengikuti dirimu kecil turun ke sawah, menyusup dalam deretan tanaman jagung, mencoba mencari ceplukan yang cukup matang. Kamu menemukannya, memasukkan buah itu ke dalam kantong plastik. Begitu seterusnya perburuan ceplukan terus berlanjut hingga dirimu sadar matahari sudah mulai bersembunyi dan peluh mulai bercucuran dari wajahmu. Kamu naik dan mengikuti dirimu berkumpul dengan teman-temanmu. Mereka menghitung buah ceplukan yang diperoleh di bawah sebuah pohon yang rindang. Ternyata buahmu paling sedikit. Teman-temanmu tidak tega melihatmu sedih. Mereka membagikan sebagian kecil miliknya untukmu waktu itu. Sekarang kalian memiliki jumlah buah yang sama. Kamu yang mengamati masa kanak-kanakmu hanya bisa tersenyum. Teman-teman masa kecilmu sangat baik padamu. Tidak ada perselisihan diantara kalian, tidak ada rasa iri satu sama lain, hanyalah senang dan selalu senang adanya.
Keesokan harinya kamu kembali mengikuti dirimu. Sepulang sekolah, kamu kecil kembali bermain dengan teman-temanmu. Kali ini mereka bermain layang-layang di lapangan. Layang-layang mereka menjangkau birunya langit. Asyik sekali, pikirmu melihat mereka. Seusai bermain layang-layang, mereka bermain bola. Ternyata, mereka bermain melawan desa sebelah. Kamu melihat dirimu dengan lincahnya mengoper, menendang bola hingga akhirnya tercipta gol. Mereka memeluk dirimu kecil. Gol pertamaku, batinmu.
Kamu terus berkendara dengan ingatanmu meninggalkan masa kanak-kanakmu. Satu hal yang menjadi catatanmu, kamu tidak pernah mengeluh semasa kanak-kanak. Sekarang ingatan membawamu ke masa SMP-mu. Kamu sedang belajar UAS waktu itu, 3 mata pelajaran. Kamu mendengar dirimu mulai berkata Aaarrrgghh. Dirimu tidak semangat belajar. Akhirnya, kamu tertidur malam itu, lelap sekali. Kamu benar-benar tidak bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan pagi harinya. Begitu selalu setiap malam, dirimu yang beranjak remaja hanya mengeluh, tak ada niat untuk belajar karena tahu setiap hari ada 3 mata pelajaran yang diujikan. Kamu sedih melihat dirimu seperti itu. Hari penerimaan rapor tiba. Benar saja, dirimu mendapatkan nilai yang amat jelek. Nilai merah terpampang nyata disana, banyak, hingga rapormu warna-warni, tidak monoton. Kamu melihat raut kekecewaan di wajah orang tuamu. Betapa sedihnya kamu mengingat yang satu ini.
Kali ini, kamu berada di rumah nenekmu. Kamu sadar kamu kelas 3 SMP waktu itu. Tak terlalu susah mengingat kejadian itu. Hari itu kamu telah ditinggalkan seorang yang begitu kamu cintai, nenekmu. Kamu sangat sedih waktu itu. Kamu pun melihat sekelilingmu, orang-orang juga merasa kehilangan nenekmu. Kamu harus lapang menerimanya karena kamu tiak bisa mengubah takdir. Kamu bertanya mengapa ingatan membawaku kesini?. Kamu terhenyak, selama ini kamu lupa mendoakan nenekmu. Kamu merasa sangat kecewa. Setelah ini, kamu berjanji untuk selalu mendoakan nenekmu agar beliau mendapatkan tempat terbaik disisi-Nya.
Belum berhenti, ingatanmu masih terus melaju, perlahan. Kini ia membawamu ke belakang gedung SMA-mu. Kamu mengamati dirimu yang saat itu masih memakai seragam sedang memasang kuda-kuda terhadap orang dihadapanmu. Kamu berkelahi. Kamu tahu persis sebabnya. Kamu ingat, kamu berkelahi memperebutkan cinta pertamamu. Sekarang, kamu baru menyadari hal itu sangatlah konyol, sama sekali tidak dewasa.
Lagi, kamu mendapati dirimu sedang belajar. Banyak tugas rupanya, pikirmu. Kamu salah, kamu sedang belajar UAS, lagi. Seperti dulu, dirimu masih mengeluh, semakin parah malahan. Kamu yang tidak bersemangat belajar hanya terus menguap sebelum akhirnya tertidur, sangat pulas. Kamu tidak suka melihat dirimu seperti itu. Kamu tak sanggup melaju lebih lama lagi. Kamu memaksa ingatanmu untuk berhenti, berhenti, dan akhirnya berhenti dengan sebenar-benarnya. Kamu pun kembali pada dirimu saat ini, memandang gelapnya malam yang bertabur bintang, tetapi dengan perasaan yang berbeda. Sama sekali berbeda.
Sekarang kamu tahu apa yang harus kamu perbaiki, sebelum semuanya terlambat, sebelum maut menjemput. Kamu mulai sadar, seiring berjalannya waktu kamu sering mengeluhkan betapa banyaknya beban yang harus kamu pikul, banyak tugas yang harus dikerjakan dan akhirnya rasa syukurmu kepada-Nya mulai terkikis. Kamu sadar, kamu berjanji, saat ini kamu akan selalu mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati, memberikan yang terbaik bagi dirimu sendiri dan orang-orang disekitarmu, selalu melukis senyum di wajah mereka. Kamu tak boleh mengecewakan mereka. Seiring berjalannya waktu, kamu juga sadar, inilah saatnya untuk mulai bersikap dewasa. JJJ
SELESAI
Komentar
Posting Komentar