Dia, Sang Pengatur
KRRRIIIIIINGGG!!!
Jam bekerku
berbunyi, aku segera beranjak dari tempat tidur. Seperti biasa aku harus
sekolah. Tepat pukul 06.30 WIB aku berangkat. Berjalan menyusuri jalan licin
setengah berlumpur yang mengharuskanku melepas sepatu. Deretan pohon-pohon
besar tua yang rimbun berada disisi kanan kiri jalan itu membentuk kanopi yang
menghalangi datangnya sinar matahari. Bisa dibayangkan bagaimana suasananya?
Ya, terasa menegangkan dan agak gelap sebenarnya, apalagi aku sendirian. Tidak
banyak orang lewat sini tetapi ini jalan terdekat ke SMA bagi anak-anak yang
tidak punya kendaraan. Aku tidak berani jika harus lewat daerah ini
malam-malam. Sebenarnya, ada seorang temanku yang biasanya menemaniku berangkat
ke sekolah, namanya Gio tetapi hari ini ia izin. Sakit katanya.
Aku terus
berjalan hingga akhirnya sampai pada sebuah pertigaan. Jalan menuju sekolahku
ke arah kanan, tetapi entah kenapa hari ini aku sangat penasaran dengan jalan
yang ke arah kiri. Jalan itu terlarang. Kata para tetua desa kami, orang tidak
akan kembali dengan selamat jika melewati jalan terlarang itu karena jalan itu
penuh dengan makhluk tak terlihat yang jahat yang siap merenggut nyawa orang
kapanpun. Sepupuku, Mia diduga menjadi korban jalan itu. Dia hilang. Tetapi
entah mengapa instingku berkata kalau ada orang dibalik hilangnya Mia.
Aku memutuskan
untuk belok ke kiri saja, kearah jalan terlarang itu. Ada sesuatu yang
menghentikanku sebelum aku benar-benar melangkah ke jalan itu dan membuat
mataku terpejam. Tiba-tiba aku sampai pada suatu tempat, di depan sebuah gubuk bambu.
Aku melihat sekeliling, tidak ada orang, tetapi aku tahu aku sudah di dalam
jalan terlarang. Aku menuju gubuk itu, kubuka pintunya yang sudah reot. Astaga,
aku melihat Mia. Ia tidak sendirian. Ia bersama Gio. Mereka terlihat sedang
minum kopi bersama. Apa yang mereka bicarakan? Ah sudahlah, aku ingin keluar
saja. Perasaaanku campur aduk.
Tiba-tiba, aku
melihat Gio keluar dari gubuk tanpa Mia. Mau kemana dia? Kuputuskan untuk masuk
ke dalam gubuk itu saja, memastikan keadaan Mia. “MIIAAAA!!” Aku berteriak
kaget melihat mulutnya penuh dengan busa. Kupegang tangannya, kucari denyut
nadinya. “Oh Tuhan, Mia…..”
Kudapati
diriku berdiri didepan jalan terlarang tadi, sekarang kubuka mataku. Aku baru
saja mendapat penglihatan saat aku
memejamkan mata, penglihatan tentang
Mia. Kulihat ke bawah tempat kakiku berpijak. Ternyata kakiku bersentuhan
dengan jejak kaki seseorang. Entah milik Mia atau Gio, yang pasti karena jejak
itu penglihatanku bekerja.
***
Aku harus
cepat-cepat pulang memberi tahu ayah mengenai yang aku lihat tadi. Tak peduli aku harus membolos. Kupercepat jalanku.
Akhirnya sampai di rumah.
“AYAAAHH…
AYAAHH..” teriakku
“Ada apa
Liona? kenapa kamu tidak sekolah?” Tanya ayahku yang baru saja selesai memberi
makan ternaknya.
“Aku mendapat penglihatan tentang Mia, ayah.” Ujarku
meyakinkan.
“Penglihatan? Ayah kan sudah menutupnya
sejak kamu berumur 10 tahun. Kenapa bisa membuka lagi?” ayahku heran.
“Liona juga
tidak mengerti, Yah. Saat telapak kaki Liona bersentuhan dengan jejak kaki di
depan jalan terlarang, tiba-tiba saja penglihatan
Liona berfungsi, membawa ke sebuah gubuk.” Jawabku.
“Astaga… ayah
lupa. Semua penglihatan yang ditutup
akan berfungsi lagi jika pemiliknya menginjak usia 17 tahun.” Terang ayahku.
“Begitu… Liona
kan baru ulang tahun kemarin.” Kataku
“Sekarang
katakan, apa yang terjadi dengan Mia!” perintah ayah
“Mia diracun,
Yah. Dia…. Diaa meninggal” Jawabku sedih
“APAAA?!!
Siapa yang meracuni Mia? Bagaimana kejadiannya?” ayah sangat kaget
“Orang ituuu….
Adalah… Gio. Ia mengajak Mia minum kopi di sebuah gubuk di tengah jalan
terlarang lalu Liona melihat Gio pergi begitu saja tanpa Mia. Liona masuk ke
dalam gubuk dan melihat mulut Mia penuh busa. Liona juga melihat botol racun
yang digunakan Gio tertinggal. Dia ceroboh.” Kataku
“Tak pernah
ayah sangka, pelakunya adalah Gio.” Ayahku menggelengkan kepala. “Sebaiknya
kita kerumah paman dan bibimu untuk memberi tahu berita ini.” Katanya
“Iya, Yah.” Kami
berpamitan pada ibu dan menceritakan apa yang sudah terjadi. “Hati-hati di
jalan.” Kata ibuku
***
Rumah paman
dan bibi sekitar 1,5 kilometer dari rumahku. Setelah berjalan sekitar 20 menit
kami akhirnya sampai. Aku menceritakan apa yang terjadi. “KITA HARUS SECEPATNYA
MENANGKAP GIO DAN MENCARI MIA!!” pamanku benar-benar terpukul.
Akhirnya paman
dan bibi menuju ke tempat yang aku ceritakan tadi untuk menjemput mayat Mia
sedangkan aku dan ayahku pergi ke rumah Gio yang tidak jauh dari rumah paman.
Kuketuk pintunya. Tak lama kemudian, Gio keluar. “Silakan masuk” katanya. Kami
pun masuk karena tidak ingin pembicaraan kami didengar orang.
“TIDAK PERLU
BASA BASI, GIO. KAMU MEMBUNUH MIA, KAN??!!” kataku naik darah
“Tidak, aku
tidak melakukannnya.” sangkalnya
“Kamu membawa Mia ke dalam gubuk di jalan
terlarang dan meracuni kopinya, kan?” kataku menang. Gio tampak keheranan
mendengarku.
“Mengapa kamu
melakukannya Gio?” Tanya ayahku.
“Karena aku
keturunan ketujuh Para Pengatur dan Mia adalah keturunan ketujuh Para Cenayang.
Dalam kitab leluhurku keturunan ketujuh Para Pengatur harus membunuh keturunan
ketujuh Para Cenayang karena keturunan ketujuh Para Cenayang itu yang paling
hebat yang akan menjadi boomerang bagi Para Pengatur. Kita tidak membutuhkan
lagi nasihat ‘sok’ dari Para Cenayang. Kita bisa memutuskannya sendiri. Para
Cenayang hanya akan menghambat kebijakan Para Pengatur dan bisa saja mengambil
alih kekuasaan.” Katanya
“Ya, Para
Cenayang tentu akan menghambat kebijakan
semena-mena Para Pengatur yang hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri,
tidak melihat kalau masih banyak rakyat yang sengsara. Mereka hanya ingin
memperkaya diri dan gila pada kekuasaan. Seharusnya Para Cenayang bisa menjadi
control nafsu mereka karena Para Cenayang bisa melihat apa yang akan terjadi di
masa depan dan melihat masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran. Mereka bisa
menjadi ‘penasihat’ Para Pengatur jika saja Para Pengatur tidak berubah haluan
seperti sekarang ini. Para Cenayang hanya ingin memperbaiki kesalahan-kesalahan
Para Pengatur saat ini, mereka tidak akan merebut kekuasaan Para Pengatur
karena keduanya mempunyai ranah yang berbeda.” Jelas ayahku.
“Kalian ini
siapa?? Berani-beraninya berkata seperti itu!” Gio berdiri dengan kemarahan.
“Aku keturunan
ketujuh Para Cenayang, Gio!” aku berdiri dan berkata lancang.
“Apa?? TIDAK
MUNGKIN!!” Ia menggeleng tidak percaya.
“Kamu terlalu
gegabah, Gio. Mia bukan keturunan Para Cenayang. Akulah keturunan keenam Para
Cenayang. Ayah Mia adalah saudara angkatku, tidak ada darah Para Cenayang
ditubuhnya begitu juga Mia.” Kata ayahku yang sekarang juga berdiri.
“Jadi….??”Gio
lagi-lagi menggeleng terlihat sangat terpukul.
“Aku
mendapat penglihatan saat menyentuh jejak kaki di depan jalan terlarang. Dan
kamu memanfaatkan mitos jalan itu untuk menjalankan misimu, kamu juga memainkan
perasaan Mia, Gio! Dia sangat mencintaimu. Mia menuruti apapun yang kamu mau
dan itu memudahkanmu menjalankan misimu!!” aku berkata dengan keras. “Sekarang
BUNUHLAH AKU, GIO!! Setelah ini misimu selesai!” sambungku lancang.
“LIONA!! Apa
yang kamu katakan?!! Ayahku memandang dengan heran. Aku membalasnya dengan
pandangan yang ‘kubuat’ menentramkan.
“Aku… aku…”
Gio terlihat kebingungan.
“Baiklah, aku
menunggu keputusanmu hingga besok sore karena aku dan ayah harus cepat-cepat ke
rumah pamanku.” Aku dan ayah melangkah keluar dari rumah Gio, kami berjalan
menjauh.
“LIONAAA!!”
panggil Gio yang membuatku berhenti dan menoleh. Kubiarkan ayahku berjalan duluan
menujui ke rumah paman. “Aku benar-benar minta maaf dan aku tidak bisa
membunuhmu, Liona, karena… karena… karena aku mencintaimu.” Sambung Gio. Aku
hanya memandangnya dari kejauhan dan kembali berjalan. Perasaanku kembali
campur aduk.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar