The Fabulous Seto Mulyadi
Siapakah Seto Mulyadi? Seto Mulyadi yang kemudian dikenal sebagai Kak Seto menikmati masa kecil yang
bahagia bersama keluarga. Posisi ayahnya, Mulyadi yang menjabat sebagai Direktur perkebunan negara di Klaten
bisa membuat keluarganya hidup berkecukupan. Pria kelahiran Klaten, Jawa
Tengah, 28 Agustus 1951 ini memiliki saudara kembar, dr. Kresna Mulyadi dan
seorang kakak, Makruf Mulyadi yang menjadi anggota ABRI.
Diantara ketiga saudara kandungnya itu, Kak Seto dianggap yang paling lemah secara fisik. Kak Seto belum bisa berjalan ketika saudara kembarnya, Kak Kresna sudah bisa berjalan. Bahkan, Kak Seto harus menenggak banyak vitamin agar bisa tumbuh besar dan sehat.
Namun siapa yang menduga jika keadaannya yang lemah secara fisik, tersisih dan kurang sehat membuat beliau memiliki keteguhan hati dan sifat 'tahan banting'.Kak Seto dikenal sebagai anak yang cukup nakal. Akibat kenakalannyanya, Kak Seto pernah jatuh saat bermain sampai kening kirinya sobek. Untuk menutupi bekas jahitan, potongan rambutnya dibuat ala The Beatles. Sampai dewasa, ketika sudah menjadi Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Kak Seto Mulyadi tetap setia dengan model rambutnya.
Karena kenakalannya itu pula maka oleh orangtuanya, Kak Seto dimasukkan ke dalam berbagai kelompok kegiatan anak-anak setiap sore setiap hari, mulai dari kegiatan kepramukaan, tari Jawa sampai kungfu.
Namun sayang, perjalanan hidup Kak Seto di masa muda berubah menjadi penuh liku yang pahit. Ayahnya meninggal pada 1966 saat Kak Seto masih berusia 14 tahun. Ekonomi keluarganya pun mulai kembang-kempis. Ibu yang terbiasa hanya mengurus rumah tangga dan anak-anak, tiba-tiba kehilangan tiang utama yang kokoh.
Untuk mengatasi tekanan ekonomi yang berat, Kak Seto terpaksa dititipkan ke rumah bibinya di Surabaya bersama kakak dan saudara kembarnya, Kak Kresna. Di kota buaya tersebut, Kak Seto melanjutkan SMA di St. Louis Surabaya dimana rata-rata muridnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Saat memasuki hari pertama sekolah, Kak Seto dan Kak Kresna memakai celana pendek (seragam SMP yang lama di Klaten) sementara yang lain mengenakan celana panjang. Namun, hal itu tak membuat Kak Seto minder sebab beliau memang belum memiliki celana panjang.
Selama bersekolah di sana, Kak Seto dan Kak Kresna tidak pernah membawa uang jajan, mengingat untuk membayar uang SPP saja, ibundanya harus bekerja keras. Kak Seto dan Kak Kresna hanya bisa memandangi tingkah laku para teman-temannya yang bisa jajan bakso semaunya. Saat bel tanda masuk kelas berbunyi dan teman-teman bergegas masuk ke kelas, secepat kilat Kak Seto langsung menyambar mangkok-mangkok bakso yang ditinggalkan pembelinya. Tanpa ragu dan malu, beliau menghabiskan sisa-sisa yang masih ada.
Demi
meringankan beban bibinya, juga untuk memenuhi biaya sekolah, Tong - panggilan
akrab Kak Seto dalam keluarganya – bekerja menjadi pengasong di jalan-jalan
selepas sekolah. Beliau aktif pula mengisi sebuah rubrik untuk anak-anak di
majalah terbitan Surabaya, Bahagia. Untuk tulisan yang dimuat, beliau
mendapatkan honor sebesar 500 rupiah. Uang sekolah bagi mereka bertiga
masing-masing sebesar 100 rupiah, sehingga masih tersisa 200 rupiah. Namun
jumlah itu masih kurang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kendati sibuk mengais rejeki namun prestasinya di sekolah tak pernah mengecewakan. Bersama saudara kembarnya, Kak Kresna, beliau kerap bersaing dalam hal prestasi. "Waktu kelas II di SMA St. Louis Surabaya, saya paspal 2 dia paspal 3 supaya dua-duanya bisa jadi ketua kelas, nah pas kelas 2 rebutan jadi ketua OSIS tapi akhirnya saya yang terpilih. Pokoknya kita sering banget berkompetisi, kalau bikin puisi di Koran Elbahar atau Srikandi, kalau satu dimuat rasanya panas sekali salah satu dari kami," katanya.
Persaingan tersebut berlanjut hingga lulus SMA. Kak Seto dan Kak Kresna bercita-cita melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran. Tapi, cita-citanya menjadi dokter kandas sebab tidak diterima di fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Sementara Kak Kresna diterima di kedokteran dan kakaknya, Makruf, masuk Akabri.Diam-diam, Kak Seto memendam kekecewaan. Ketidapuasan dalam dirinya karena gagal menjadi dokter membuat Kak Seto nekat meninggalkan rumah dan pergi ke Jakarta. Dengan uang sekadarnya, Subuh, 27 Maret 1970, beliau berangkat tanpa pamit, hanya meninggalkan surat kepada ibunya.
Tiba di Jakarta sebagai penganggur yang luntang-lantung, Kak Seto menumpang di garasi milik keluarga temannya. Di sana, beliau hanya tidur beralaskan dua keset yang digabung. Dengan bekal ijazah SMA, Kak Seto mulai mendatangi kantor-kantor dan hotel untuk melamar pekerjaan. Penolakan demi penolakan harus dialaminya hingga akhirnya beliau menjadi tukang parkir di sekitar Blok M dan tukang batu di daerah Hang Tuah. Kak Seto tak malu menjalani itu semua, baginya yang terpenting pekerjaan itu halal demi sesuap nasi.
Hingga
suatu hari saat sedang menonton televisi di rumah tempatnya menumpang, Kak Seto
tertarik dengan acara "Taman Indria" yang diasuh Bu Kasur di TVRI.
Satu hal, kalau melihat orang lain mampu melakukan sesuatu, Kak Seto selalu
berpikir, ''Ah, saya juga bisa.'' Lalu dicarinyalah rumah Bu Kasur, dengan niat
ngenger (berguru). Tapi saat itu yang ada hanya Pak Kasur. "Di situ saya
langsung bilang bahwa saya adalah calon mahasiswa UI. Dan saya mau membantu Pak
dan Ibu Kasur untuk menjadi 'cantrik' (istilah dalam pewayangan yang
menunjukkan peran sebagai asisten, sering tanpa diupah, hanya untuk menggali
pengalaman dari seorang kstaria). Tidak digaji juga tidak apa-apa," ujarnya.
Sore di hari yang sama, 4 April 1970, pria berkacamata yang murah senyum ini kembali datang ke kediaman Pak Kasur di Jalan Lembang, Menteng. Tidak jauh dari situ terdapat taman dan danau yang digunakan sebagai play group oleh Pak Kasur di sore hari. "Kemudian saya dikenalkan kepada ibu-ibu yang antar anak-anaknya. Sekarang saya punya asisten baru namanya Kak Seto, jadi kita panggil dia Kak Seto," kata Kak Seto meniru ucapan Pak Kasur. Momen tersebut memberikan arti tersendiri bagi Kak Seto sehingga setiap 4 April diperingati sebagai hari pengabdiannya di dunia anak-anak.
Setelah setahun menjadi 'cantrik', Kak Seto berhak mendapatkan gaji seperti guru-guru lain di sekolah Pak Kasur. Kak Seto semakin memantapkan diri di jalurnya tersebut terlebih Pak Kasur selalu menjadi pendorong baginya untuk tetap menekuni dunia anak-anak
Sore di hari yang sama, 4 April 1970, pria berkacamata yang murah senyum ini kembali datang ke kediaman Pak Kasur di Jalan Lembang, Menteng. Tidak jauh dari situ terdapat taman dan danau yang digunakan sebagai play group oleh Pak Kasur di sore hari. "Kemudian saya dikenalkan kepada ibu-ibu yang antar anak-anaknya. Sekarang saya punya asisten baru namanya Kak Seto, jadi kita panggil dia Kak Seto," kata Kak Seto meniru ucapan Pak Kasur. Momen tersebut memberikan arti tersendiri bagi Kak Seto sehingga setiap 4 April diperingati sebagai hari pengabdiannya di dunia anak-anak.
Setelah setahun menjadi 'cantrik', Kak Seto berhak mendapatkan gaji seperti guru-guru lain di sekolah Pak Kasur. Kak Seto semakin memantapkan diri di jalurnya tersebut terlebih Pak Kasur selalu menjadi pendorong baginya untuk tetap menekuni dunia anak-anak
Selama
menjadi asisten, Kak Seto selalu memperhatikan cara-cara Pak Kasur dalam
mendidik anak. Beliau menarik kesimpulan bahwa Pak Kasur ingin membentuk
anak-anak Indonesia menjadi anak yang mandiri dan bangga akan dirinya.
Keyakinan tersebut sama dengan teori dalam ilmu psikologi. "Seorang anak
harus bangga akan dirinya sendiri. Ia tak perlu berpura-pura pandai dalam
matematika walaupun sebenarnya tidak," kata Pak Kasur. Selain mengajar
anak-anak, Kak Seto membantu Pak Kasur dan tetap aktif menulis di majalah Si
Kuncung dengan honor seribu rupiah setiap menulis di tahun 1970-an.
Lewat perkenalannya dengan istri Jenderal AH Nasution, Kak Seto kemudian diterima sebagai pembantu rumah tangga di rumah Direktur Bank Indonesia, Soeksmono Martokoesoemo. Semua itu dilakukannya demi mendapatkan penghasilan yang cukup. Berhubung tidak tersedia kamar yang memadai, Kak Seto terpaksa menempati sebuah kamar bekas kandang ayam yang terletak tepat di depan WC. Hampir setiap hari Kak Seto bangun jam 4.30 pagi dan tidur jam 23.00 malam. Dengan kondisi tersebut, ia tak mampu bertahan lama karena ternyata secara fisik ia tidak kuat.
Saat memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut, permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh Ibu Soeksmono. Alasannya, beliau melihat kesungguhan Kak Seto dalam mengasuh putranya yang sakit polio. Peraih penghargaan The Outstanding Young Person of The World 1987 ini kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi pengasuh anak. Dengan begitu, Kak Seto diperkenankan untuk tidur sekamar dengan putra keluarga itu.
Sembari bekerja sebagai pembantu rumah tangga, keinginan Kak Seto untuk menjadi seorang dokter terus bergelora. Tahun 1971, Kak Seto mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Tapi, seperti halnya kala di Surabaya, kali ini pun kegagalan kembali menyertainya. Rasa kecewa kembali memenuhi ruang batinnya, apalagi jika dirinya mengingat Kak Kresna, saudara kembarnya yang lancar-lancar saja kuliah di Fakultas Kedokteran Airlangga, Jawa Timur. Tak ingin larut dalam kesedihan, atas saran Pak Kasur, Kak Seto mendaftar dan diterima di Fakultas Psikologi UI di tahun 1972.
Setelah resmi menjadi mahasiswa psikologi UI, kesibukan Kak Seto kian bertambah. Pagi sebelum ke kampus, beliau harus membersihkan rumah dan merawat anak tuannya, lalu berangkat kuliah. Sore harinya harus mendampingi Pak Kasur serta mengasuh acara anak-anak di TVRI. Saking sibuk dan kelelahan, seringkali Kak Seto tertidur di jam kuliah. Akibatnya,beliau berhasil meraih gelar sarjana setelah menempuh studi selama 9 tahun.
Bersama Pak Kasur, Kak Seto bisa menumpahkan "obsesi" masa kecilnya: kecintaan pada anak-anak - sesuatu yang berawal dari kerinduan datangnya seorang adik, setelah adiknya yang masih tiga tahun meninggal akibat sakit malaria.
Kala semangatnya menggebu-gebu di dunia anak-anak, Pak Kasur memutuskan untuk menutup taman bermainnya karena alasan kesehatan. Mendengar hal itu, Kak Seto merasa sedih karena tidak bisa membayangkan anak-anak tanpa taman bermain itu.
Kecintaan pada dunia anak-anak kemudian membuat Kak Seto memberanikan diri mengelola Istana Anak-Anak di Taman Ria Remaja, Senayan. Kak Seto dibantu dua teman kuliahnya, Dini Cokro dan Frieda Mangunsong membuka Istana Anak-Anak itu di tahun 1975. Setiap sore pulang kuliah, Kak Seto bersama dua rekannya itu menemani dan menghibur anak-anak yang datang ke Istana itu.
Kak Seto juga mengaku tidak selalu tahu tentang anak. Dalam kaitan ini, mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta (1994-1997) ini pernah menuturkan, ''Saya bukan tahu segala hal tentang anak-anak, tapi berusaha untuk tahu tentang mereka.'' Untuk itu, ''Saya memiliki senjata rendah hati, tidak pernah merasa paling berkuasa di keluarga, menghormati mereka sehingga mereka terbuka kepada saya.''
Lewat perkenalannya dengan istri Jenderal AH Nasution, Kak Seto kemudian diterima sebagai pembantu rumah tangga di rumah Direktur Bank Indonesia, Soeksmono Martokoesoemo. Semua itu dilakukannya demi mendapatkan penghasilan yang cukup. Berhubung tidak tersedia kamar yang memadai, Kak Seto terpaksa menempati sebuah kamar bekas kandang ayam yang terletak tepat di depan WC. Hampir setiap hari Kak Seto bangun jam 4.30 pagi dan tidur jam 23.00 malam. Dengan kondisi tersebut, ia tak mampu bertahan lama karena ternyata secara fisik ia tidak kuat.
Saat memutuskan untuk keluar dari pekerjaan tersebut, permintaannya itu ditolak mentah-mentah oleh Ibu Soeksmono. Alasannya, beliau melihat kesungguhan Kak Seto dalam mengasuh putranya yang sakit polio. Peraih penghargaan The Outstanding Young Person of The World 1987 ini kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi pengasuh anak. Dengan begitu, Kak Seto diperkenankan untuk tidur sekamar dengan putra keluarga itu.
Sembari bekerja sebagai pembantu rumah tangga, keinginan Kak Seto untuk menjadi seorang dokter terus bergelora. Tahun 1971, Kak Seto mendaftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Tapi, seperti halnya kala di Surabaya, kali ini pun kegagalan kembali menyertainya. Rasa kecewa kembali memenuhi ruang batinnya, apalagi jika dirinya mengingat Kak Kresna, saudara kembarnya yang lancar-lancar saja kuliah di Fakultas Kedokteran Airlangga, Jawa Timur. Tak ingin larut dalam kesedihan, atas saran Pak Kasur, Kak Seto mendaftar dan diterima di Fakultas Psikologi UI di tahun 1972.
Setelah resmi menjadi mahasiswa psikologi UI, kesibukan Kak Seto kian bertambah. Pagi sebelum ke kampus, beliau harus membersihkan rumah dan merawat anak tuannya, lalu berangkat kuliah. Sore harinya harus mendampingi Pak Kasur serta mengasuh acara anak-anak di TVRI. Saking sibuk dan kelelahan, seringkali Kak Seto tertidur di jam kuliah. Akibatnya,beliau berhasil meraih gelar sarjana setelah menempuh studi selama 9 tahun.
Bersama Pak Kasur, Kak Seto bisa menumpahkan "obsesi" masa kecilnya: kecintaan pada anak-anak - sesuatu yang berawal dari kerinduan datangnya seorang adik, setelah adiknya yang masih tiga tahun meninggal akibat sakit malaria.
Kala semangatnya menggebu-gebu di dunia anak-anak, Pak Kasur memutuskan untuk menutup taman bermainnya karena alasan kesehatan. Mendengar hal itu, Kak Seto merasa sedih karena tidak bisa membayangkan anak-anak tanpa taman bermain itu.
Kecintaan pada dunia anak-anak kemudian membuat Kak Seto memberanikan diri mengelola Istana Anak-Anak di Taman Ria Remaja, Senayan. Kak Seto dibantu dua teman kuliahnya, Dini Cokro dan Frieda Mangunsong membuka Istana Anak-Anak itu di tahun 1975. Setiap sore pulang kuliah, Kak Seto bersama dua rekannya itu menemani dan menghibur anak-anak yang datang ke Istana itu.
Kak Seto juga mengaku tidak selalu tahu tentang anak. Dalam kaitan ini, mantan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta (1994-1997) ini pernah menuturkan, ''Saya bukan tahu segala hal tentang anak-anak, tapi berusaha untuk tahu tentang mereka.'' Untuk itu, ''Saya memiliki senjata rendah hati, tidak pernah merasa paling berkuasa di keluarga, menghormati mereka sehingga mereka terbuka kepada saya.''
Hari lepas hari, Kak Seto semakin yakin dan serius mencintai dunia anak. Tahun 1978, pria murah senyum dan nyaris tak pernah marah ini mendapat kepercayaan untuk mengasuh acara Aneka Ria Anak-anak di TVRI. Semula beliau berpasangan dengan Gatot Sunyoto (dengan boneka Tongky ciptaannya), lalu sempat dipasangkan dengan penyanyi papan atas, Rafika Duri atau Hetty Koes Endang hingga akhirnya berduet dengan Henny Purwonegoro.
Dalam acara tersebut, Kak Seto tak sekadar mendongeng tapi juga belajar sambil bernyanyi. Bahkan anak-anak kian kepincut dengan kemahirannya bermain sulap yang memang telah beliau pelajari melalui buku sejak masih SD. Sedangkan teknik mendongeng diperolehnya dari penulis dan penutur cerita anak-anak, Soekanto S.A ditambah dengan pengalamannya sendiri. Lewat kreativitasnya, pengagum Mahatma Gandhi serta Napoleon ini juga berhasil menciptakan boneka khas binatang Indonesia yang bernama Komo dan selalu setia menemaninya. Dengan bonekanya Si Komo berikut lagunya, beliau pun makin lekat dengan anak-anak. Dan, ekonominya pun mulai membaik, hingga setelah menggondol gelar sarjana psikologi, Kak Seto mengundurkan diri dari keluarga Soeksmono.
Pada 16 Juni 1982, Kak Seto mendirikan TK Mutiara Indonesia. Alasan menggunakan nama tersebut karena Kak Seto mengganggap anak-anak adalah mutiara bangsa, sekarang dan masa yang akan datang. Sukses dengan TK Mutiara Indonesia, dua tahun kemudian, mantan Sekjen Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia ini mendirikan Yayasan Nakula Sadewa, wadah untuk para anak kembar dan orangtuanya. Pertimbangannya mendirikan yayasan tersebut adalah tidak semua anak kembar berasal dari keluarga dengan ekonomi mapan.
Dedikasinya di dunia anak-anak membuat namanya kian masyur dan menarik simpati termasuk dari mantan wanita nomor satu di negara ini, Ibu Tien Soeharto. Pada tahun 1984, Kak Seto berhasil memprakarsai didirikannya Istana Anak-anak Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan diresmikan langsung oleh istri mantan penguasa orde baru itu.
Pada 1987, Kak Seto menikahi Deviana - yang usianya terpaut 18 tahun – gadis yang dicintainya. Tepat pada hari pernikahan, di saat tamu berdatangan, pengantin baru Kak Seto-Devi melaksanakan nazarnya: mendongeng di panti asuhan.
Dengan membaiknya keadaan ekonomi, Kak Seto membeli rumah tinggal di kawasan Cireundeu tetapi tidak dinikmati sendiri. Sebagian dimanfaatkan untuk sarana bermain anak-anak. Di lahan seluas 2.000 meter persegi itu ada perosotan atau ayunan, ruang kelas, kolam renang mini, laiknya taman kanak-kanak. Semua ruangan didekorasi dengan warna-warna yang ceria dan benar-benar membuat anak-anak merasa di alam fantasi mereka.
Di dalam keluarga, dia menjadikan anak-anaknya sebagai sahabat dan guru. Hubungannya dengan buah hatinya sudah dituangkan dalam buku, 'Anakku, Sahabatku, dan Guruku' (1997). Di buku itu beliau menuliskan betapa anak dapat menjadi sahabat dalam berbagi masalah. Anak juga bisa menjadi guru untuk belajar tentang kreativitas, spontanitas, kebebasan berpikir, pemaaf, tidak pendendam, dan mempunyai kasih sayang yang tulus.
Sebagai ayah, Kak Seto juga tak pernah memilihkan suatu keputusan untuk anak-anaknya, tetapi mengarahkan mereka untuk mengambil keputusan dengan benar. Sang ayah juga tidak pernah membentuk mereka harus seperti beliau nantinya, tetapi itu yang membuat mereka ingin menjadi penerusnya. "Satu pesan yang selalu kami ingat dari seorang yang paling tidak pendendam yang pernah kutemui, apapun yang kalian percayai nanti tapi jangan pernah lupa untuk "selalu berbuat baik," tulis Minuk sebagaimana dikutip dari buku berjudul "Kak Kak Seto: 'Anak-anak Tersenyumlah!'".
Atas pengabdiannya pada dunia anak-anak, yang sampai kapan pun akan terus dilakukannya, Kak Seto telah dianugerahi sejumlah penghargaan. Antara lain Orang Muda Berkarya Indonesia, kategori Pengabdian pada Dunia Anak-anak dari Presiden RI (1987), The Outstanding Young Person of the World, Amsterdam; kategori Contribution to World Peace, dari Jaycess International (1987), Peace Messenger Award, New York, dari Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar (1987) dan The Golden Balloon Award, New York; kategori Social Activity dari World Children's Day Foundation & Unicef (1989). Kemudian, walau tak pernah terlintas dalam benaknya, sejak 1998, Kak Seto dipercaya menjadi Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA).
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komnas Perlindungan Anak (KPA), Kak Seto semakin giat bekerja membela anak-anak. Pasca bencana Tsunami di Aceh misalnya, ia bersama pemerintah merealisasikan pembentukan Trauma Center. Pendirian Trauma Center ini ditujukan untuk menangani gangguan traumatis pada anak-anak Aceh yang menjadi korban bencana alam dahsyat tersebut. Apa yang paling cepat membantu menyembuhkan trauma anak? "Adanya cinta, perhatian, dan dunia indah untuk bermain," kata Kak Seto.
Kak Seto juga merasa prihatin dengan masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Ironisnya, pelanggaran hak anak tidak hanya terjadi di luar rumah melainkan juga di dalam rumah baik kekerasan fisik yang dilakukan para orangtua, tekanan-tekanan secara psikologis seperti membentak, penelantaran atau eksploitasi dipekerjakan sebagai anak jalanan dan lain-lain. Kak Seto melihat, untuk memerangi kekerasan terhadap anak dibutuhkan suatu gerakan nasional untuk menyadarkan semua pihak dari pemimpin bangsa, orangtua, guru, pejabat, relawan dan sebagainya.
Kak Seto yang mempunyai motto: bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak dan berharap supaya semua orang menganggap setiap hari adalah hari anak. "Bukan cuma tanggal 23 Juli saja, tapi setiap hari adalah hari untuk anak," kata Kak Seto. "Sehingga anak-anak Indonesia sekarang, apalagi yang terpinggirkan, bisa memperoleh hak-haknya sehingga mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dan menjadi putra-putri bangsa yang terbaik untuk bangsanya," tegasnya lagi. -wow, ternyata hidup Kak Seto penuh lika-liku, tapi beliau tak pernah menyerah => harus dicontoh ini!
Sumber:
Komentar
Posting Komentar